Menyadari Tentang Makna Kebahagiaan Hadir Dalam Hidup Kita

 

Menyadari Tentang Makna Kebahagiaan Hadir Dalam Hidup Kita


Kehidupan selalu dipenuhi ragam peristiwa. Mulai dari bahagia hingga kecewa. Penerimaan hingga penolakan. Seiring berjalannya waktu, kita mulai mengenali kebutuhan. Menepikan hal bernama keinginan. Akan tetapi seringkali diri bergelayut dalam gemerlap dunia yang berkilauan. Perlahan hanyut hingga tak tahu batasan. Menimbulkan satu persatu kesalahan. Menyembulkan beragam penyesalan. Menerbitkan titik kekecewaan.

 

Jika sudah demikian siapa yang hendak dipersalahkan? Diriku atau ruang pertemanan? Aku atau lingkungan pergaulan?

 

Sudah, tak ada gunanya saling menyalahkan. Rasa cinta terhadap diri sendiri harus ku tanamkan. Bagaimana diriku akan dipahami oleh orang lain jika untuk diriku sendiri aku tak punya pemahaman. Sebenarnya hanya diriku sendiri yang mampu menghadirkan ketentraman. Dengan mengenali diriku sendiri hingga kedalaman. Mendengar apa yang hati nurani katakan. Menarik kembali nalar dengan naluri agar berhubungan. Mengendalikan pikiran agar tunduk terhadap perasaan. Bukan hanya sekedar ego yang mengendalikan. Aku percaya, hatiku mampu mengusir bisikan setan.

 

Perlahan, ku ajak diriku sendiri berkenalan. Ku mulai sebuah pembicaraan. Menanya hati perihal apa yang dia inginkan. Kebahagiaan. Hanya itu yang hati inginkan. Kini aku tahu yang diinginkan hati adalah kebahagiaan. Bukan semata-mata kebahagiaan dalam rupa harta benda. Akan tetapi kebahagiaan yang mampu menghadirkan ketentraman.

 

Ku coba mencari dimana letak kebahagiaan?

Apakah ia berada dalam canda tawa diriku dengan teman?

Apakah ia berada kala diriku menelusuri pemandangan?

Atau ketika diriku dengan ibu berpelukan?

Terus menerus ku cari letak kebahagiaan. Kebahagiaan tak mempunyai tepian. Hingga ku pahami sendiri bahwa kebahagiaan sejatinya dapat ku temui dalam diriku sendiri.

 

Semakin hari diriku menyadari, semakin sulit menimbulkan rona bahagia dalam diri sendiri. Semakin banyak lingkungan yang ku temui. Semakin banyak orang yang ku kenali. Semakin banyak diriku berinteraksi. Seringkali diriku ingin menjadi seperti orang lain. Tampak nyaman menghadapi kehidupan. Seolah hanya diriku yang menerima kesulitan. Perasaan "insecure" bertebaran. Takut mendapat penolakan sebab tak ada kesetaraan. Takut tak diterima sebab bukan tandingan.

 

Tak boleh, diriku tak boleh terjerembab hingga demikian. Diriku harus teguh pendirian. Mengukuhkan kepercayaan. Inilah diriku. Anugerah yang telah diberikan tuhan terhadapku. Entah apapun itu syukur harus ku genggam tanpa ragu.

Bersyukur atas segala hal yang telah menjadi anugerah dari Tuhan. Aku percaya tuhan telah menjadikanku dalam sebaik-baiknya penciptaan. Meski diri ini tak sedikitpun luput dari kekurangan. Dengan sedikit percikan kebaikan. Betapa baik tuhan terhadapku. Betapa Tuhan menyayangiku. Jikalau demikian, mengapa masih saja sulit bagiku untuk menyayangi seutuhnya diriku.

 

Barangkali bukan hanya syukur yang harus ku pupuk agar tumbuh rasa cinta dalam diriku serta terhadap diriku. Barangkali ikhlas harus ku sematkan serupa itu. Ikhlas terhadap pasang surut kehidupan. Ikhlas terhadap pemberian. Ikhlas terhadap cobaan.

 

Dalam menghadapi pemberian yang menghadirkan kebahagiaan. Diri ini acap kali melupakan syukur terhadap Tuhan. Begitu pula dengan cobaan. Diri ini akan mengadu terhadap Tuhan. Tuhan tak pernah memberikan ujian diluar batas kemampuan. Aku percaya diriku mampu menghadapi gelombang.

 

Pada akhirnya, aku pun menyadari. Sudah sejauh ini. Sudah sekuat ini diriku menapaki kehidupan. Tak ada yang mampu ku berikan untuk diriku sendiri. Mungkin seringkali diriku abai terhadap keadaan diri sendiri. Terimakasih diriku, telah bersedia menjalankan kehidupan. Meski sesekali ragu. Terimakasih diriku, telah bertahan selama ini. Terimakasih diriku terus berusaha menjadi utuh meski didera berbagai hal yang membuat rapuh.

Komentar